Selasa, 14 Juni 2011

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada zaman dahulu ketika tekhnologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap penyakit yang diderita oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan dengan gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu perobatan.
Pergeseran zaman dan kemajuan tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat dilihat dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan menggunakan metode pengolahan canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat lebih menspesifikkan penyakit-penyakit tersebut. Ada penyakit yang bersumber dari virus, bakteri atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan obat-obatan medis, tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu, jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau baksil-baksil, namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Sejak awal-awal abad kesembilan belas boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara factor mental yang diidentifikasikan sebagai potensial dapat menimbulakan gejala-gejala tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini antara lain disebakan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.

B. Permasalahan
Selanjutnya timbul pertanyaan, sejauh manakah agama memiliki hubungan dengan kesehatan mental ? Lalu apa sajakah kontribusi pendekatan agama dalam kesehatan mental?

C. Tujuan
Berdasarkan permasalah yang timbul, maka makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai hubungan antara agama dengan kesehatan mental dan kontribusi pendekatan agama dalam kesehatan mental ? 

BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[1]
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.[2]
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.

B. Manusia dan Agama
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.[3]
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhinadar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme melihat agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[4]
Prilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran yang artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atsa fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam Alquran dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[5]

C. Kesehatan Mental dan Gangguan Mental
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon.
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran :(QS. Al-Baqoroh 2:10)
Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit [1] lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal :
1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.

D. Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam :(QS Ar Ruum 30:30)
Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan kimia tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), chitro practic (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.[6]
Sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.[7]
Mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama ahli biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya, dokter yang tidak dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter tersebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.

E. Terapi Agama pada Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah :
(QS An Nahl 16:97)
Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.(QS Ar Ra’ad 13:28)
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan akhirat.[8]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.
Dari uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tarik kesimpulan:
• Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
• Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
• Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.

B. Kritik dan Saran
Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah.


DAFTAR PUSTAKA

Hawari, Dadang. Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. 1995. Yogyakarta
: Dana Bhakti Prima Jasa
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. 2004. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/12/agama-dan-kesehatan-mental-psikologi.html


[1]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Hal 4.
[2]Ibid, Hal 142.
[3]Ibid, Terbitan Tahun 2007. Hal 154.
[4]Ibid.
[5]Ibid, Hal 159-160.
                [6]Ibid, Hal 161.
[7]Ibid.
[8]Dadang Hawari, Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Jasa, 1995, Hal 66-74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar