Selasa, 14 Juni 2011

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada zaman dahulu ketika tekhnologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap penyakit yang diderita oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan dengan gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu perobatan.
Pergeseran zaman dan kemajuan tekhnologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat dilihat dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan menggunakan metode pengolahan canggih, perkembangan ilmu pengetahuan dapat lebih menspesifikkan penyakit-penyakit tersebut. Ada penyakit yang bersumber dari virus, bakteri atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan obat-obatan medis, tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu, jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau baksil-baksil, namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.
Sejak awal-awal abad kesembilan belas boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikosomatik). Dan di antara factor mental yang diidentifikasikan sebagai potensial dapat menimbulakan gejala-gejala tersebut adalah keyakinan agam. Hal ini antara lain disebakan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuh penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.

B. Permasalahan
Selanjutnya timbul pertanyaan, sejauh manakah agama memiliki hubungan dengan kesehatan mental ? Lalu apa sajakah kontribusi pendekatan agama dalam kesehatan mental?

C. Tujuan
Berdasarkan permasalah yang timbul, maka makalah ini bertujuan untuk membahas mengenai hubungan antara agama dengan kesehatan mental dan kontribusi pendekatan agama dalam kesehatan mental ? 

BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

A. Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.[1]
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.[2]
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.

B. Manusia dan Agama
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.[3]
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhinadar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme melihat agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.[4]
Prilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berprilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Alquran yang artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atsa fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar Ruum:30)
Dalam Alquran dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[5]

C. Kesehatan Mental dan Gangguan Mental
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Hal ini jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan.
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon.
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran :(QS. Al-Baqoroh 2:10)
Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit [1] lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh A. Scott, meliputi beberapa hal :
1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.

D. Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam :(QS Ar Ruum 30:30)
Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Beberapa temuan dibidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dibidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antaralain dengan menggunakan bahan-bahan kimia tablet, cairan suntik atau obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran, arus listrik), chitro practic (pijat), dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.[6]
Sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud, orang mulai mengenal pengobatan dan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita penyakit ganguan ruhani (jiwa). Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah kasus menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan “Carel Gustay Jung” diantara pasien saya setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.[7]
Mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama ahli biokimia, memberikan bukti akan adanya hubungan antara keyakinan dengan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan itu diperkuat oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antar dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Sejak abad ketujuh hijriyah, Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya, dokter yang tidak dapat memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka dokter tersebut bukanlah dokter dalam arti sebenarnya. Ia pada dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.

E. Terapi Agama pada Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah :
(QS An Nahl 16:97)
Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.(QS Ar Ra’ad 13:28)
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama Islam mengandung tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan, kesejahteraan, keselamatan, baik dunia dan akhirat.[8]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.
Dari uraian di atas, yaitu mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tarik kesimpulan:
• Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
• Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
• Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.

B. Kritik dan Saran
Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah.


DAFTAR PUSTAKA

Hawari, Dadang. Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. 1995. Yogyakarta
: Dana Bhakti Prima Jasa
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. 2004. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/12/agama-dan-kesehatan-mental-psikologi.html


[1]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Hal 4.
[2]Ibid, Hal 142.
[3]Ibid, Terbitan Tahun 2007. Hal 154.
[4]Ibid.
[5]Ibid, Hal 159-160.
                [6]Ibid, Hal 161.
[7]Ibid.
[8]Dadang Hawari, Alquran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Jasa, 1995, Hal 66-74.

PENGARUH ISLAM TERHADAP ASPEK KESUSASTRAAN PADA ZAMAN JAHILIYAH


PENGARUH ISLAM TERHADAP ASPEK KESUSASTRAAN PADA ZAMAN JAHILIYAH


Sastra adalah suatu hasil karya cipta manusia yang dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila didalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya.Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum dihati pembacanya.
            Kajian tentang sastra adalah suatu kajian yang pelik dan rumit,terasa lebih sulit jika yang dikaji tersebut adalah kesusastraan asing, dalam hal ini penulis mengambil suatu misal yakni kesusastraan Arab jahiliyah yang dibagi beberapa bahagian;
a.    Sastra Arab pra-Islam (Satra jahiliyah)
b.    Karya sastra dan penyair yang terkenal
c.    Pengaruh Islam terhadap aspek kesusastraan

A.   Sastra Arab pra-Islam(Sastra jahiliyah)
Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam biasa dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab pra-Islam (Sastra jahiliyah) adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam sastra Arab ini tergambar jelas kehidupan masyarakat,budaya dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi bangsa asing seperti Persia,Yunani,India atau Romawi.[1]
Sebenarnya satra arab jahiliyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa ribuan tahun sebelum Islam muncul.Tetapi dalam catatan sejarah sastra Arab, Sasta Arab jahiliyah dikenali sejak kira-kira satu abad menjalang Islam lahir sampai tahun pertam  Hijriyah, atau dalam kata-kata hanna al-fakhuri, kritis dan sastrawati libanon, sastra jahiliyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada pertama abad ke-6.
Sastra tulis Arab pra-Islam telah merentang dari abad ke abad dan dari benua ke benua. Meskipun sastra Arab telah muncul pada zaman jahiliyah (Priode pra-Islam), Islam memberikan pengaruh yang mendalam terhadap perkembangannya. Al-Qur’an sendiri merupakan sebuah tour de forse sastra, dan sampai sekarang teks-teks Islam yang menjadi bagian dari turats (tradisi tekstual dunia Arab Islam).[2]
Pada umumnya sastra Arab jahiliyah mendiskripsikan keberadaan kemah (karena kehidupan para pujangga yang berpindah-pindah dari satu kemah kekemah lainnya), hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga dapat imbalan materi dan pujian tertenyu. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecendrungan sastra Arab jahiliyah adalah ritsa’ (Ratapan). Ode (pujian). Dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dangan nasihat atau filsapat hidup tertentu. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diketahui tentang perkembangan sastra Arab pada masa ini. Hal ini disebabkan tidak banyaknya ditemukan data tertulius yang diungkapkan hal ini secara lebih terperinci. Perkembangan satra Arab hanya dapat diketahui sedikit melalui ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan Hadits serta buku-buku tertulis yang ditemukan masa sesudahnya.[3]

B.   Seni sastra dan penyair Arab yang terkenal
Tradisi sastra Arab yang telah ada sejak jauh kedatangan Islam adalah syair dan pidayo. Tradisi lisan dan meskinya budaya tulis menulis bangsa Arab wakyu itu menjadi alasan mengapa seni pidato (Sebagai salah satu cara ungkap sastra mereka) berkembang dengan baik. Selama priode awal Islam, yaitu priode Rasulullah, tidak banyak berkembang yang berarti dalam sastra. Meskipun demikian, corak muatan sastranya mengalami perubahan, karena Al-Qur’an dan nilai-nilai Islam kemudian menjadi sumber imajinasi (daya cipta) sastra masa ini.
Seni suara, seni musik daan seni tari pada priode awal Islam tampaknya memperlihatkan perkembangan yang berarti. Seperti halnya dalam sastra, ketiga jenis ini masih merupakan kelanjutan dari masa sebelum Islam. Alat-alat musik yang dipakai,seperti disebut dalam Hadits,adalah Seruling,Gendang,ghubaira (jenis seruling),penyanyi-penyanyi, laki-laki dan perempuan biasanya mendengarkan syair untuk perkawinan atau untuk menyambut prajurit pulang perang.[4]
Karya sastra priode ini memiliki  empat ciri khusus:
1.    Pengunaan kata-kata lebih ditekankan pada masa asalnya
2.    Kosakata yang digunakan banyak memiliki sinonim
3.    Penggunaan kata-kata serapan dari luar bahasa Arab sangat kurang
4.    Gaya bahasa dan kalimat-kalimat yang diucapkan sesuai dangan tuntunan gaya bahasa,yaitu singkat,padat,dan tidak dibuat-buat
Karya sastra dalam bentuk syair yang paling terkenal pada masa ini adalah al-muallaqat (Kumpulan syair yang berhasil memenangkan perlombaan di suq Ukaz, yang ditulis dengan tinta emas dan kemudian digantungkan ke ka’bah). Al-muallaqat merupakan karya sastra jahiliyah yang paling menarik dan saksi yang paling benar dan menggambarkan keadaan lingkungan masyarakat jahiliyah dalam berbagai aspek.
Karya sastra berupa prosa pada masa jahiliyah tidak berkembang seperti syair. Prosa pada masa ini hanya berupa catatan pidato,kata-kata hikmah dan cerita-cetita kehidupan bangsa Arab pada masa lampau yang berkembang dikalangan mereka.[5] Dalam sastra jahiliyah,ada perbedaan antara syair dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra puisi, Sastra prosa jahiliyah tercatat dalam sejarah sastralebih belakangan. Hal ini karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian penulis pentadwinan,sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah lahir. Ini tidak terjadi pada syair atau puisi yang telah “dicatat” dalam ingatan para ruwat,pencerita,atau “Pencatat benak”, tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Disamping itu,syair merupakan bahasa wujden,emnosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih frofesional,sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek. Juga, prosa lebih cendrung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Denan kata lain,sastra puisi lebih berdimensi psikoligis, sementara sastar prosa lebih sosiologis.
Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair Muallaqat. Seperti ditulis oleh Hanna al-fakhuri. Mereka itu adalahh;
1.    Umru al-qois bin al-Harits al-kindi (500-540)
2.    Zuhair bin Abi sulma al-muzani (530-627)
3.    Al-nabiqah az-zubiani (w.sekitar 604)
4.    Al-asya al-qaisi (530-629)
5.    Labid bin Rabiah al-amiri (560-561)
6.    Amar bin Kulsum al-taqlabi (w.584)
7.    Tarafah bin Abdul Bakri (543-569)
8.    Antarah bin Syaddah al-absi (525-615)
9.    Al-Harits bin Hillizah al-bakri (w. sekitar 580)
10. Ubaid bin al-abras al-asadi (w. sekitar 554)
Diantara sepuluh penyair Muallaqat, Umru al-qais adalah penyair paling terkenal dan dikenang oleh masyarakat Arab jahiliyah.[6]

C.   Penaruh Islam terhadap aspek kesusastraan
Bangsa Arab talah mendapatkan sastara bernilai tinggi dalam Al-Qur’an dan mereka juga telah mendapatkan susunan kalimat yang indah didalam sebagai sesuatu yang membuat mereka sangat kagum sehingga mereka terdorong untuk menirunya. Kekaguman mereka dangan Al-Qur’an ini sampai membuat sebagian diantara mereka tidak mau bersyair. Hal ini seperti yang terjadi pada labid bin Rabiah, salah seorang pujangga (Penyair) dari para ashhab al-muallaqat. Dia telah
datang menemui Rasulullah bersama rombongan kaumnya untuk menyatakan diri masuk Islam. Dia begitu baik menjalani kehidupan sebagai seorang muslim. Sesudah masuk Islam ia hanya membatasi diri dengan membaca Al-Qur’an, tidak mau lagi bersyair dan membacakan syairnya sebagai bidang yany sangat ia kuasai. Begitu kagumnya ia dengan Al-Qur’an sehingga selama empat puluh tahun sesudah masuk Islam ia tidak mampu membuat puisi kecuali satu bait syair saja:



“Tidaklah orang mereka dan terhormat seperti dirinya mencari sesuatu karena seseorang itu akan menjadi baik berkat temannya yang baik”.[7]

Al-Qur’an dan sunnah kalimatnya menjadi begitu memasyarakat diseluruh kabilah Arab sehingga khutbah (Pidato) dan syair mereka sangat terpengaruh olehnya. Denagn demikian, bahwa Al-Qur’an menjadi bahasa popular dalam percakapan mereka dan imajinasi merekapun sangat terangsang karenanya.
Al-Ustadz kurd ali berkata: Al-Qur’an merupakan setinggi-tinggi kitab (paling tinggi nilai sastranya) bagi bangsa Arab. Kalau bukan karenanya niscaya mereka tidak akan mempunyai kesaatraan dan syariat: kitab yang menjelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalan bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. (Q.S 41:3). Para pujangga Arab sungguh tidak kuasa untuk membuat tandingan sekalipun mereka ditendang untuk membuat tandingan sehingga dari masing-masing tampak mana yang lebih baik. Bahasa yang fashihah dikalangan mereka adalah suatu yang mempunyai kedudukan paling tinggi, sehingga sudah melalui perbedaan panjang akhirnya mereka mengakui: Sesungguhnya Al-Qur’an mempunyai susunan kalimat tersendiri dan berbeda dari susunan kalimat biasa.[8]


Kesimpulan


Sastra Arab pra Islam (Sastra jahiliyah) sebenarnya berakar jauh sekali, bahkan pada masa ribuan tahun sebelum Islam muncuk. Tetapi dalam catatan sejarah sastra Arab, sastra jahiliyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir .
            Sastra Arab jahiliyah yang paling popular adalah jenis sastra puisi atau syair disamping sedikit amsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Semua ini dihafal diluar kepala secara turun temurun
            Adapun sastra Arab sangat bernilai tinggi dalam Al-Qur’an dan mereka mendapatkan susunan kalimat yang sangat indah didalam sebagai suatu yang membuat mereka kagum sehingga mereka terdorong utuk menirunya. Hal ini seperti yang terjadi pada labid bin Rabi’ah salah eorang pujangga(penyair) dari para ashhab al-muallaqat.


Daftar Pustaka


Ambary, Hasan Muarif, Suplemen Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van HOeve,1996.
Azizy, Ahmad Qodri Abdillah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Akar Dan Awal. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,2002.
Esposito, Jonh L, Ensiklopedi Oxspord Dunia Islam Modern. Bandung: Pt. Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam,2000
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam 1. Jakarta: Kalam Mulia,2001
Yatim, Badri, Sejarah Kebudayaan Islam II. Jakarta: Direktoral Jendral Pembina Kelembagaan Agama Islam,1998


[1]Ahmad Qodri Abdillah Azizy, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Akar danAwal,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,2002), hlm.25.
[2]Jonh L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern,(Bandung: PT. Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam,2002), hlm.153.
[3]Ibid., hlm.26.
[4]Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam II,(Jakarta: DIrektoral Jendral Pembina Kelembagaan agama Islam,1998), hlm.127.
[5]Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam,(Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), hlm.154
[6]Ahmad Qodri Abdillah. Op.cit., hlm.26.
[7]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia,2001), hlm.371.
[8]Ibid., hlm.372.

Rabu, 08 Juni 2011

Menganalisis Teori Belajar Konstruktivisme Dan Absolutisme


KATA PENGANTAR
Bimillahirrahmnairrahim

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kami sehingga kami dapat menyusun makalah kami ini dengan judul "Sejarah penulisan Al-qur'an dan Asbabul Nuzul".

Kami menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan karena dalam pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang

Dan kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.




Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Teori merupakan suatu konsep yang melandasi sebuah pemikiran, sedangkan Belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor interen pada diri belajar dengan faktor eksteren atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Selain itu belajar juga diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku yang dialami seseorang dari penalaman, pengetahuan dan lingkungannya.
Salah satu teori belajar yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah teori belajar konstruktivisme dan teori belajar absolutisme. Secara singkat teori belajar konstruktivisme diartikan sebagai teori yang membangun peserta didik, dan teori absolutisme diartikan pula sebagai teori pembalajaran yang mutlak.

  1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
    1. Apa yang dimakasud dengan teori belajar konstruktivisme
    2. Apa yang dimaksud dengan teori belajar absolutisme
    3. Bagaimana penerapan kedua teori belajar tersebut dalam pembelajaran IPA

  1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :
    1. Menambah wawasan pengetahuan mahasiswa dalam teori – teori belajar
    2. Dapat menganalisis teori – teori belajar yang efektif digunakan dalam pembelajaran
    3. Untuk memenuhi tugas mata yang diberikan oleh dosen pengampu.

BAB II
PEMBAHASAN
Menganalisis Teori Belajar Konstruktivisme Dan Absolutisme

  1. Teori belajar konstruktivisme
Menurut pandangan konstruktivisme belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi. Sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar sibelajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Dengan demikian maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya,dan perspektif yang dipakai dalam menginterpresiikannya, jadi guru diharapakan dapat mendorong munculnya diskusi dalam rangka memberi kesempatan siswa untuk mengeksplorasi pikiran atau aktivitas dan keterampilan berpikir kritis. Selainn itu guru diharapkan dapat mengkaitkan informasi baru kepengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.
Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut :
1.      Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna
2.      Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalm pengkonstruksian secara bermakna
3.      Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
Peserta didik adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar, dan kontrol belajar dipegang oleh peserta didik. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
Implikasi dalam pembelajaran dari pernyataan di atas adalah diharapkan guru menyediakan pilihan tugas, sehingga tidak semua peserta didik harus mengerjakan tugas yang sama. Dan juga di beri kebebasan peserta didik untuk memilih bagaimana cara mengevaluasi dirinya untuk mengukur kemampuan yang telah dikuasainya.
Menurut Poedjiadi, 1999: 63 implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu  yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalam yang dihadapinya.
2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik, latihan memecahkan masalah sering kali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana cara belajar, menciptakan pemahaman baru yang sesuai dengan aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata, yang mendorong peserta didik untuk berpikir ulang dan mendemonstrasikan. Dengan demikian maka pembelajaran dan evaluasi menekankan pada proses.
Pembelajaran dalam kontek konstruktivisme lebih diarahkan untuk melayani pertanyaan atau pandangan peserta didik. Penyajian isi ini menkankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan bagian. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam kontek nyata.
Menurut Wilson (1997) penataan ruang belajar berdasarkan pandangan konstruktivisme adalah:
1.            Menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2.            Menyediakan pengalaman belajar yang kaya akan berbagai alternatif
3.            Menginterpretasikan proses belajar mengajar dengan kontek yang nyata dan relevan
4.            Memberi kesempatan pada peserta didik untuk menentukan isi dan arah belajar mereka.
5.            Mengintegrasi belajar dengan pengalaman bersosialisasi.
6.            Meningkatkan penggunaan berbagai media di samping komunikasi tertulis dan lisan.
7.            Meningkatkan kesadaran peserta didik dalam proses pembentukan pengetahuan mereka.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme Tytler (1996) mengemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran:
1.            Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
2.            Memberi kesempatan kepada sisiwa untuk berpikir kreatif dan imajinatif
3.            Memberi kesempatan pada sisiwa untuk mencoba gagasan baru
4.            Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5.            Mendorng siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6.            Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
Jadi, manusia yang diharapkan dalam belajar konstruktivisme adalah berpikir kreatif, berani mengambil keputusan, dapat memecahkan masalah, kolaborasi dan pengelolaan diri.

  1. Teori Belajar Absolutisme
Absolutisme berasal dari kata absolute yang artinya mutlak merupakan prinsip yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada itu memiliki sifat mutlak dan universal. Dengan ini berarti absolutisme tidak ada tawar menawar, dalam prinsip ini juga tidak bergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah.

  1. Aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme dan Teori Belajar Absolutisme dalam Pembelajaran IPA
Strategi pembelajaran IPA dalam konstruktivisme adalah salah satu landasan teoritis modern yang termasuk dalam strategi konstruktivisme. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif-proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai siswa sebagai pusat dari pada guru sebagai pusat. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktifitas siswa.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna dan bergelut dengan ide-ide guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori ini adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi konfleks kesituasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi miliki mereka sendiri.
Strategi pembelajaran IPA dalam absolutisme adalah siswa lebih mengarah pada belajar melalui prinsip-prinsip, konsep,ide dan gagasan yang mutlak dan universal.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut pandangan konstruktivisme Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut :
Ø  Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna
Ø  Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalm pengkonstruksian secara bermakna
Ø  Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
Jadi guru diharapakan dapat mendorong munculnya diskusi dalam rangka memberi kesempatan siswa untuk mengeksplorasi pikiran atau aktivitas dan keterampilan berpikir kritis. Selainn itu guru diharapkan dapat mengkaitkan informasi baru kepengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.
Absolutisme berasal dari kata absolute yang artinya mutlak merupakan prinsip yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada itu memiliki sifat mutlak dan universal. Dengan ini berarti absolutisme tidak ada tawar menawar, dalam prinsip ini juga tidak bergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah.
Strategi pembelajaran IPA dalam absolutisme adalah siswa lebih mengarah pada belajar melalui prinsip-prinsip, konsep,ide dan gagasan yang mutlak dan universal.
Strategi pembelajaran IPA dalam konstruktivisme adalah salah satu landasan teoritis modern yang termasuk dalam strategi konstruktivisme. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif-proses belajar mengajar


DAFTAR PUSTAKA

Riyanto Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Surabaya: Prenada Media Group
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Surabaya: Prenada Media Group
Http://Wahanateoripembelajaran.Blogspot.Com/2010/08/Analisis-Teori-Pembelajaran.Html